SYAFAAT DEBU SULTHONUL AULIYA’ SYEKH ‘ ABDUL QADIR AL JILANI ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ .
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺑَﺮَﻛَﺎﺗُﻪ
Ada seeorang yang hidup di masa Sulthonul Auliya’
Al Qutb Rabbani Syekh ‘Abdul Qadir Al Jilani ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ .
Ketika orang itu meninggal dunia dan di kuburkan, orang-orang yang berada di sekitar
pekuburan mendengar jeritan, lolongan orang itu dari dalam kubur.
Para sahabat (murid-murid) Syekh ‘Abdul Qadir Al Jilani ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ bercerita kepadanya,
dan segera Syekh Abdul Qadir Al Jilani ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ menghampiri kubur tersebut.
Masyarakat menyaksikan dan memohon kepada Beliau ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ agar memohon
kepada Allah ﷻ agar hukumannya di angkat.
Kemudian Syekh Abdul Qadir Al Jilani ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ bertanya kepada para sahabat-sahabatnya:
“Apakah ia salah satu dari sahabatku (muridku)?”
Mereka menjawab:
“Bukan wahai Syekh……”
Lalu Beliau ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ bertanya kembali :
“Pernahkah kalian melihatnya hadir pada salah satu majelisku?”
Mereka menjawab :
“Orang itu tidak pernah menghadiri majelismu.”
Asy Syekh Abdul Qadir ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ bertanya lagi :
“Pernahkah ia masuk ke salah satu masjid dengan tujuan
untuk mendengarkan ceramahku, atau shalat di belakangku?”
Mereka menjawab :
“Tidak pernah , ya Syekh..!!!!!”
Lalu Asy-Syeikh Abdul Qadir ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ bertanya lagi :
“Pernahkah aku melihatnya?”
Mereka menjawab :
“Tidak pernah, ya Syekh…!!!”
Lalu Asy Syekh Abdul Qadir ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ bertanya lagi :
“Apakah ia pernah melihatku?”
Mereka menjawab :
“Tidak ya Syekh….!!”
Lalu salah seorang dari mereka berkata:
“Namun, wahai Syekh, aku pernah melihatnya melintas di suatu jalan setelah engkau
dan para sahabatmu baru saja selesai dari majelis, dan ia melihat jejak jalanmu”
(di masa itu Asy Syekh Abdul Qadir Al Jilani ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ bila berjalan dengan rombongannya,
dengan mengendarai kuda, hingga menimbulkan debu-debu yang mengepul di udara),
orang akan segera tahu, “Wah…konvoi Asy Syekh Abdul Qadir Al Jilani barusan lewat nih.”
(Kira-kira begitu).
Lalu Asy Syekh Abdul Qadir Al Jilani ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ menengadahkan tangannya
kepada Allah ﷻ seraya berdo`a :
“Ya Allah, orang ini adalah orang yang pernah melihat debu jejak jalan kami selesai majelis,
jika Engkau mencintai kami Ya Allah….,
kami memohon kepada-Mu berkat kecintaan-Mu kepada kami untuk
mengangkat hukuman serta siksaan pada hamba ini.”
Seketika itu juga, jeritan dari dalam kubur terhenti.
Masyallah.
Baru melihat debunya saja, seorang Wali Allah Asy Syekh Abdul Qadir al Jilani ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ
memberikan syafaat di alam kubur!
Lalu bagaimana dengan para sahabatnya (muridnya) yang siang dan malam menghadiri
majelis-majelis Beliau ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ , mengenal dan mencintainya? (Tentu lebih dahsyat lagi).
Dari debu inilah Asy Syekh Abdul Qadir Al Jilani ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ memohonkan ampun,
memberikan syafaat kepada orang tersebut.
Bagaimana jika seandainya orang tersebut sulit di cari,
apa alasan Asy Syeikh Abdul Qadir Al Jilani ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ untuk memberikan syafaat kepadanya?
Naudzubillah.
Oleh karena itu semasa hidupnya seorang muslim selayaknya mencintai para shalihin,
para wali Allah!
Sebab merekalah perantara antara kita dengan Allah ﷻ.
Para Wali Allah dicintai di langit dan di bumi sebagaimana Allah ﷻ
berfirman di dalam hadits qudsi riwayat Imam Bukhari,
“Jika Allah ﷻ cinta kepada hamba-Nya,
maka Allah ﷻ akan berkata kepada malaikat Jibril ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ
yang merupakan pemimpin dari para malaikat di tempat tertinggi:
“Wahai Jibril, Aku mencintai hamba itu, maka umumkanlah kepada semua penduduk langit
untuk mencintai hamba tersebut.”
Lalu malaikat Jibril ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ mencintai hamba tersebut karena Allah ﷻ dan mengumumkannya, sehingga seluruh para malaikat ikut mencintainya.
Wallahu`alam
Semoga bermanfaat
Silahkan share
Sumber :
-Keberkahan Sulthanul Awliya Al Imam Al Quthbul Rabbani
Al Ghaust Al'Adzom As-Sayyid Asy- Syaikh Abdul Qadir Al Jailani.
1. Man jadda wajada - من جدّ وجد "Barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkannya." 2. Man saaro darbi wasola - من سار على الدرب وصل "Barang siapa berjalan pada jalannya, maka dia akan sampai (pada tujuannya)." 3. Wa maa ladatu illa ba'dat ta'bi - ومااللذّة إلا بعد التعب "Tidak ada kenikmatan kecuali setelah kepayahan." 4. Man yazro' yahsud - من يزرع يحصد "Barang siapa yang menanam pasti akan memetik (mengetam)." 5. lan tarji'al ayyamul lati madhot - لن ترجع الأيّام التي مضت "Tidak akan pernah kembali lagi hari-hari yang te...
Komentar
Posting Komentar